bismi-lLahi-rRahmani-rRahiem
In the Name of Allah, the Compassionate, the Merciful
=== News Update ===
“Kritik atas Ulil Absar ihwal Kemaksuman Nabi”
Qosim Nursheha Dzulhadi
Mantan koordinator Jaringan Islam Liberal (JIL), Ulil Absar-Abdalla menulis (07/01/2008) satu artikel problematis di situs JIL, “Doktrin-doktrin Yang Kurang Perlu dalam Islam” (http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=1312).
Salah seorang ‘Santri Pesantren Harvard’, Amerika, ini menulis “sebelas” doktrin yang kurang perlu” di dalam Islam. Dalam tulisannya tersebut, tujuan Ulil ingin mengetengahkan satu ajaran Islam, “tawadlu”. Ulil menulis: “Saya hanya ingin menganjurkan suatu corak keberagamaan yang rendah hati, yang tidak arogan dengan mengemukakan kleim-kleim yang berlebihan tentang agama. Jika Islam menganjurkan etika “tawadlu‘”, atau rendah hati, maka etika itu pertama-tama harus diterapkan pada Islam sendiri. Mengaku bahwa agama yang paling benar adalah Islam jelas menyalahi etika tawadlu’ itu. Mendaku bahwa setelah Nabi Muhammad tidak ada nabi atau rasul lagi adalah berlawanan dengan etika tawadlu’. Mendaku bahwa Islam menghapuskan agama sebelumnya sama sekali tak mencerminkan sikap tawadlu‘.”
Mari kita lihat, sebelas poin doktri Islam yang dikritiknya. Apakah benar kritiknya tersebut menyajikan sikap tawadlu‘ Islam yang diklaimnya? Atau, sebaliknya?
Pertama, “doktrin bahwa Nabi tidak bisa berbuat salah. Menurut saya, doktrin ini sama sekali tak berkaitan dengan inti dan esensi agama Islam, dan karena itu kurang perlu.”
Yang diinginkan Ulil mungkin sifat ma‘shûm (‘ishmah) dari Nabi Muhammad SAW. Benarkah doktrin ini bukan inti Islam? Di dalam Al-Qur’an dijelaskan banyak ayat tentang ‘ishmah (baca: ‘kemaksuman’) ini, dan tidak hanya ‘dimonopoli’ oleh Nabi SAW. Ulil justru tidak menyelesaikan masalah ‘ishmah, malah memperuncing masalah. ‘Ishmah dalam Al-Qur’an tidak hanya ‘ishmah untuk Nabi SAW, melainkan untuk seluruh yang lainnya. Buktinya dapat dilihat dari catatan seorang pemikir liberal Arab, Samir Islambuli, sebagai berikut:
[1] ‘Ishmah (proteksi) dari “pembunuhan” (al-qatl). Ini tidak terjadi kepada seluruh nabi, melainkan kepada sebagian nabi Bani Isra’il (Qs. Al-Baqarah [2]: 61), karena nabi Ibrahim selamat dari pembunuhan (Qs. Al-Anbiyâ’ [21]: 69), nabi Musa (Qs. Al-Qashash [28]: 20) dan nabi Muhammad SAW (Qs. Al-Mâ’idah [5]: 67).
[2] ‘Ishmah dari ‘lupa’ (al-nisyân), berbuat salah (al-khatha’) dalam menyampaikan risalah Allah (al-tablîgh). Inilah yang disebut dengan ‘ishmah rabbaniyyah (‘proteksi Ketuhanan’). ‘Ishmah ini “harus ada” dalam diri Rasulullah SAW, karena beliau menyampaikan message Tuhannya (Qs. Al-A‘lâ [87]: 6, Qs. Al-Najm [53]: 4, dan Qs. Al-Hijr [15]: 9). “Pemeliharaan” di sini adalah untuk “materi wahyu”, yang mengharuskan adanya pemeliharaan nabi dari “hilang akal” atau terkena penyakit gila. Karena hal itu membuat cacat materi wahyu. Maka, Allah harus memelihara beliau dari segala hal tersebut.
[3] ‘Ishmah dari kekufuran (al-kufr) dan kemaksiatan (al-ma‘âshiy). ‘Ishmah ini disebut dengan ‘ishmah iktisâbiyah-ma’rifiyyah (proteksi yang diperoleh lewat usaha-kognitif). Hal ini dapat dibaca, misalnya, dalam Qs. Al-Mulk [67]: 14 dan Qs. Al-An‘âm [6]: 124).
[4] ‘Ishmah dari kesalahan dalam memahami sesuatu dan memahaminya. Jenis ini tidak dimiliki oleh makhluk manapun, termasuk para malaikat. (Lihat lebih detail, Samir Islambuli, Tahrîr al-‘Aql min al-Naql wa Qirâ’ah Naqdiyyah ‘an Ahâdîts al-Bukhârî wa Muslim, (al-Awâ’il-Suria-Damascus, I, 2000: 136-137 dan 140).
Jika kita lihat dan kita komparasikan antara kandungan Al-Qur’an dan Bible, akan tampak bahwa Al-Qur’an sangat menjunjung tinggi ‘ishmah para rasul Allah. Sementara dalam Bible, beberap nabi Allah justru dilecehkan ‘ishmah-nya, seperti nabi Sulaiman (Solomon), Dawud (David), Luth (Lot), dll.
Kedua, “doktrin bahwa sumber hukum hanya terbatas pada empat: Quran, hadis, ijma‘, dan qiyas. Doktrin ini menjadi “hallmark” dari sekte Ahlussunnah waljamaah di mana-mana, sepanjang sejarah. Doktrin ini sebetulnya kurang perlu dan menjadi alat ortodoksi Islam untuk mempertahankan status quo. Sumber hukum jelas tidak bisa dibatasi dalam empat sumber itu. Islam tidak berkurang nilainya sebagai agama jika doktrin ini dihilangkan.”
Hemat penulis, Ulil sendiri yang membatasi sumber hukum hanya Islam hanya pada empat hal di atas: Al-Qur’an, hadis, ijmâ‘ dan qiyâs. Para ushûliyyûn (pakar Ushul Fiqh) justru memperluas cabang sumber hukum dari empat sumber di atas, semisal: istihsan, istishâb, ‘urf, mashâlih mursalah (ini terkenal bagi kalangan Liberal, karena banyak mengutip pemikiran Najm al-Dîn al-Thûfî dalam ‘Risâlah al-Thûfî fi al-Mashlahah, sehingga al-Thûfî dianggal ‘liberal’), al-akhdzu bi’aqalli mâ qîla, syar‘u man qablanâ, dslb. Para ushûliyyûn membuat satu bab khusus dalam buku-buku Ushul Fiqh tentang sumber hukum-hukum tersebut, yakni al-adillah al-muttafaq ‘alayha dan al-adillah al-mukhtalaf fiha. Kenapa ini luput dari kritik Ulil?
Jika kaum liberal, semacam Ulil ini, mau konsisten dengan pemikirannya, mereka ‘wajib’ mempertahankan konsep al-Thûfî tentang al-mashlahah. Muhammad Jamal Barut, misalnya, membela habis-habisan konsep al-Thûfî ini, yang menurutnya “melampaui” konsep al-mashlahah-nya Imam Malik ibn Anas ra. Sungguh, ini pemikiran Ulil yang “aneh”.
Ketiga, doktrin bahwa Nabi Muhammad adalah Nabi akhir zaman. Doktrin ini jelas “janggal” dan sama sekali menggelikan. Setiap agama, dengan caranya masing-masing, memandang dirinya sebagai “pamungkas”, dan nabi atau rasulnya sebagai pamungkas pula. Doktrin ini sama sekali kurang perlu. Apakah yang ditakutkan oleh umat Islam jika setelah Nabi Muhammad ada nabi atau rasul lagi?”
Sebagaimana galibnya, kaum liberal memang sangat phobia dengan truth-claim. Kalau bisa, semua agama itu sama. Tidak usah saling mengklaim doktrinnya paling benar. Padahal, sikap fanatik itu “wajib” ada dalam setiap hati para pemeluk satu agama. Doktrin lakum diinukum wa liyadin hemat penulis adalah sangat gamblang tentang ini. Masalahnya tidak semudah “takut or tidak takut” jika muncul ‘nabi’ setelah Nabi Muhammad SAW. Masalahnya adalah “sangat krusial dan fundamental”, karena berkaitan dengan Al-Qur’an dan hadis Nabi SAW. Allah menyatakan ‘finalitas kenabian’ di dalam Kitab-Nya (Qs. Al-Ahzab [33]: 40). Nabi SAW pun menyatakan bahwa “tidak ada nabi setelahku” (HR. Al-Bukhari, XI/271). Saya sudah menulis tentang ini secara detail di: http://alqassam.wordpress.com/).
Keempat, “doktrin bahwa sebuah agama mengoreksi atau bahkan menghapuskan agama sebelumnya. Ini adalah yang disebut sebagai doktrin supersesionisme. Doktrin ini tertanam kuat dalam psike dan “mindset” umat Islam. Doktrin ini tak lain adalah cerminan “keangkuhan” sebuah agama. Kehadiran agama tidak terlalu penting dipandang sebagai “negasi” atas agama lain. Agama-agama saling melengkapi satu terhadap yang lain. Kristen bisa belajar dari Islam, Islam bisa belajar dari Yahudi, Yahudi bisa belajar dari tradisi-tradisi timur, dan begitulah seterusnya.”
Konsep naskh memang menjadi perdebatan ulama, khusus naskh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Dari al-Umm, Imam Syafi‘i (w. 204 H) menjelaskan tentang ini. Syeikh Muhammad al-Ghazali menolak naskh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an dalam berbagai tulisannya. Lebih tajam lagi bisa dibaca dalam karya seorang pakar hadis Mesir, Shiddiq al-Ghumari, ‘Dzawq al-Halawah. Saya sangat setuju dengan al-Ghumari, tidak ada naskh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Tapi naskh syari‘at, ini menjadi kesepakatan para ulama. Kenapa? Karena ini konsep Al-Qur’an (Qs. Al-Ma’idah [5]:48). Al-Qur’an dalam ayat ini bukan hanya sebagai “penguat” (mushaddiq), melainkan juga “batu ujian” (muhaymin ‘alayh).
Dalam Kristianitas, Yesus memang menolak ‘membawa agama baru’. Dia mengaku hanya menyempurnakan agama Yahudi yang dibawa oleh Musa Tapi Nabi Muhammad SAW benar-benar ‘Rasul Pamungkas’ (dan ini ditolak oleh Ulil). Hemat saya, pemikiran Ulil ini juga “aneh”.
Kelima, “doktrin bahwa kesalehan ritual lebih unggul ketimbang kesalehan sosial. Orang yang beribadah dengan rajin kerap dipandang lebih “Muslim” ketimbang mereka yang bekerja untuk kemanusiaan, hanya karena mereka tidak beribadah secara rutin. Agama bisa ditempuh dengan banyak cara, antara lain melalui pengabdian kepada kemanusiaan.”
Ini “lebih aneh” lagi! Dalam Islam, seluruh ibadah diproyeksikan membantuk ‘kesalehan individual dan masyarakat’, bukan sembarang ibadah. Puasa agar menjadi “takwa” (Qs. Al-Baqarah [2]: 183); shalat agar ‘terhindar dari perbuatan keji-munkar’ (Qs. Al-‘Ankabût [8]: 45); dan zakat membentuk ‘kepekaan sosial’ (Qs. Al-Tawbah [9]: 60). Akh…saya kira Ulil hanya ‘bercanda’ menuliskan doktrin yang kurang penting di atas. Saya khawatir, orang-orang Muslim yang membagikan sembako kepada orang yang ditimpa Tsunami atau lumpur Lapindo ‘dianggap sebagai Muslim’, padahal tidak shalat. Muslim tetap harus shalat dan membantu orang lain. Keduanya harus dikerjakan, baru benar-benar Muslim. Saya husnudzdzan, Ulil faham benar tentang Qs. Al-Mâ‘ûn [107]: 1-7. Saya kira, konklusinya di atas adalah “aneh”.
Keenam, “doktrin bahwa mereka yang tidak mengikuti jalan Islam atau agama orang berangkutan adalah “kafir”. Ini mekanisme yang nyaris standar dalam semua agama. Semua agama cenderung memandang bahwa mereka yang ada di luar “lingkaran penyelamatan” adalah domba-domba sesat. Doktrin ini, sekali lagi, cerminan dari arogansi sebuah agama tertentu. Sudah jelas bahwa jalan keselamatan adalah banyak sekali.”
Tentu kita tidak heran tentang klaim ini. Ini kan yang disebut dengan “pluralisme” itu? Ajaran ini ‘wajib’ dipegang kuat-kuat oleh kaum liberal, karena sudah menjadi ‘sunnah’ kehidupan mereka. Ini jelas “aneh”, karen mengadopsi dari doktrin orang lain. Extra ecclesiam nulla sallus, doktrin Gereja yang sudah diubah pada konsili Vatikan II (1962-1965). Gereja menyatakan bahwa “di luar Gereja” juga ada keselamatan.
“Domba-domba sesat” kan doktrin Gereja? Jalan keselamatan dalam Islam juga banyak: sedekah, shalat, haji, istighfar, baca Al-Qur’an. Tapi Islam menolak bahwa Budha, Hindu, Confusius, Kristen, Yahudi, Aliran Kepercayaan, Kejawen, Ahmadiyah, Komunitas Eden, Al-Qiyadah Al-Islamiyah, Baha’iyah, dslb, sebagai “jalan keselamatan”. Jalan keselamatan hanya ada dalam Islam. Jelas ini ditentang oleh kaum Liberal. Tapi inilah doktrin Islam. Dan truth-claim itu akan tetap menjadi ‘sunnatullah’. Ulil pun menganggap pemikirannya yang “benar”, padahal belum tentu. Bukankah ini “aneh”?
Ketujuh, “berkaitan dengan doktrin sebelumya, ada doktrin lain yang biasanya bekerja dalam lingkaran internal masing-masing agama. Dalam Islam, ada doktrin tentang “sekte yang diselamatkan”, al-firqah al-najiyah. Kelompok yang menyebut dirinya ahlussunnah wal-jamaah memandang dirinya sebagai satu-satunya kelompok dalam Islam yang masuk sorga, sementara kelompok lain sesat. Begitu juga kelompok Syiah memandang dirinya sebagai satu-satunya kelompok yang selamat, selebihnya sesat. Doktrin ini diteruskan oleh MUI dalam bentuk lain melalui fatwa penyesatan. Mendaku bahwa yang selamat hanya lingkaran tertentu adalah sebentuk arogansi.”
Ulil kembali ‘menyalahkan MUI’. Saya kira pendapat MUI dengan pendapat Ulil tidak berbeda. Menurut MUI yang tidak sesuai dengan akidah Islam adalah “di luar Islam” (seperti Ahmadiyah), dan menurut Ulil “komunitas yang ada di luar Islam” tetap akan selamat juga. Apa bedanya? Beda redaksi saja bukan? Saya ulangi lagi, truth-claim itu ‘sunnatullah’. Tapi, truth-claim harus “objektif”. Standar dan kriteria MUI dalam menetapkan satu aliran atau ajaran itu “sesat or not” sangat bijaksana dan objektif. Jika Ulil menolak, maka penolakannya adalah aneh. Karena pemikiran orang beda-beda. MUI juga boleh menolak pemikiran Ulil dan yang lainnya, jika masuk dalam 10 kriteria sesat yang ditetapkan oleh mereka. Pemahaman Ulil tentang al-firqah al-najiah-pun ‘setengah-setengah’. Mungkin ada ‘udang di balik batu’. Ini juga pemikiran Ulil yang “aneh”.
Kedelapan, “oktrin bahwa jika Kitab Suci mengatakan A, maka seluruh usaha rasional harus berhenti. Kitab Suci adalah firman Tuhan, dan firman Tuhan tak mungkin salah. Oleh karena itu, jika Tuhan sudah mengeluarkan sebuah “dekrit” maka seluruh perbincangan harus berhenti. Doktrin ini tercermin dalam sebuah “legal maxim” atau kaidah hukum dalam teori hukum Islam yang berbunyi, “la ijtihada fi mahal al-nass”, tidak ada “independent reasoning” dalam hal-hal di mana teks Kitab Suci sudah mempunyai kata putus. Dengan kata lain, ijtihad harus dihentikan jika Kitab Suci sudah memutuskan sesuatu. Dalam diskursus filsafat modern di Amerika, hal ini disebut sebagai “discussion stopper”, agama sebagai penghenti diskusi. Sudah jelas Kitab Suci terkait dengan konteks sejarah tertentu, dan banyak hal yang dikatakan Kitab Suci sudah tak relevan lagi karena konteks-nya berbeda.”
Ulil salah memahami konsep laa ijtihaada fii mahall al-nash. Ini sudah terjawab dengan kesimpulan akhir tulisannya dalam poin kedelapan ini: “Sudah jelas Kitab Suci terkait dengan konteks sejarah tertentu, dan banyak hal yang dikatakan Kitab Suci sudah tak relevan lagi karena konteks-nya berbeda.” Tapi harus dicatat, bahwa tidak berarti ilqhaa’ al-nash (menghapuskan atau menghilangkan nash yang ada). Sejarah mencatat bagaimana khalifah ‘Umar ra. melakukan hal itu ketika tidak memberikan zakat kepada para mu’allaf. Beliau juga tidak melakukan “potong tangan” orang yang mencuri ketika musim paceklik (al-maja‘ah). (Lihat, Dr. Muhammad ‘Imarah, al-Nash al-Islamiy: Bayna al-Ijtihad, al-Jumud wa al-Tarikhiyyah, cet. I, 1998, hlm. 48-49 dan Dr. Muhammad Sa‘id Ramadhan al-Buthi, Dhawabith al-Mashlalah fi al-Syari‘ah al-Islamiyyah, cet. IV, 2005, hlm. 152-175). Tidak ada yang “baru” dalam pemikiran Ulil. Yang ada hanya “keanehan” di sana-sini.
Kesembilan, doktrin bahwa hukum hanya bisa dibuat oleh “syari‘” atau legislator. Yang disebut legislator dalam konteks Islam adalah Tuhan, kemudian secara derivatif juga Nabi Muhammad. Para ulama atau fukaha datang belakangan sebagai penafsir atas hukum itu, dan pelan-pelan juga menempati kedudukan sebagai “pembuat hukum” atau legislator hukum agama. Doktrin ini angat kuat tertanam dalam Islam.
Doktrin ini juga kuat tertanam dalam agama Yahudi. Deklarasi Qur’an sudah sangat jelas dan sangat “kategorikal” , bahwa Adam dan seluruh keturunannya adalah “khalifah” di muka bumi. “Kekhilafahan” di sini, dalam tafsiran saya, mencakup pula kompetensi untuk menciptakan hukum yang mengatur ketertiban di muka bumi ini. Seluruh individu, dalam pandangan Islam yang saya pahami, adalah obyek dan subyek hukum sekaligus. Dengan kata lain, hukum bukan hanya diciptakan oleh Tuhan, tetapi juga oleh manusia. Manusia secara generis adalah syari’, bukan saja Nabi atau ulama/fukaha.”
Benar, bahwa para fukaha’ datang belakangan. Bisa jadi sebagai ‘penafsir’, atau mujtahid. Dan ini sah-sah saja. Seperti halnya Ulil, boleh menafsirkan kata “kekhilafan”. Ulil bisa jadi “menerima” atau “menolak” penafsiran para fukaha’. Sepertinya halnya yang lain, boleh saja menolak penafsiran Ulil tentang “kekhilafahan”. Ini lebih fair tentunya. Menurut ijmâ‘ ulama, syari‘ adalah Allah, kemudian Rasulullah. Tidak ada seorang ulamapun yang menyatakan bahwa manusia boleh menjadi “syari‘”. Hanya Ulillah yang terlalu su’udzdzann terhadap mereka. Pendapat Ulil terlalu membesar-besarkan yang kecil. Tentu saja ini pemikiran yang “aneh”.
Kesepuluh, “doktrin bahwa Kitab Suci bersifat seluruhnya supra-historis, karena ia adalah firman Tuhan. Karena Tuhan bersifat supra-sejarah, maka firmanNya pun bersifat supra sejarah pula. Karena itu, Kitab Suci juga supra sejarah. Kebenaran Kitab Suci tak terikat dengan ruang dan waktu. Pandangan ini lagi-lagi adalah pandangan yang “angkuh”. Akan lebih proporsional jika kita mengatakan bahwa ada hal-hal yang supra-sejarah dalam Kitab Suci, tetapi juga ada hal-hal lain yang cukup banyak yang terikat dengan sejarah. Bagian Kitab Suci yang “lengket sejarah” ini bisa tidak relevan sama sekali jika keadaan berubah.”
Ulil benar-benar “telat anti-klimaks”. Para ulama ‘ulum al-Qur’an sudah lebih dulu menyatakan hal itu lewat asbab al-nuzul. Bukan hanya itu, masalah semantik Al-Qur’an pun sudah dibahas oleh para ushûliyyûn dalam buku-buku mereka. Lahan garapan pemikiran “aneh” Ulil sebenarnya terlambat. Bagian Kitab Suci tidak ada yang tidak relevan. Semuanya sakral, tidak ada yang profan. Masalah aplikasinya tergantung kesiapan manusia. Bukankah umat Islam masih banyak yang phobia menerapkan “hukum rajam” atau “potong tangan”.
Kesebelas, “doktrin bahwa Islam bisa menjawab semua masalah. Doktrin ini jelas hanya retorika belaka. Sebab pada kenyataannya tidak demikian. Solusi agama atau Islam, jika pun ada, juga tidak mesti sukses dan berhasil. Sebagaimana solusi-solusi sekuler, solusi Islam juga bisa gagal, seperti terbukti dalam banyak kasus.”
Menarik sekali pemikiran Ulil ini. Benar. Doktrin bahwa Islam bisa menjawab semua masalah adalah “retorika belaka”. Karena kebanyakan dari kita hanya doyan berwacana, mengutak-ngatik kata-kata, seperti: teks-konteks, kontekstual, liberasi ijtihâd, fatwa MUI tidak mengikat, tidak boleh ada truth-claim, dlsb. Padahal apa yang kita lakukan adalah paradoks dari apa yang kita ucapkan. Kita hanya bisa ber-kabura maqtan ‘inda Allahi an taquulu maalaa taf’alun (Qs. Al-Shaff [61]: 3).
Hemat penulis, golongan Islam apapun, selama masih berwacana-ria, tidak akan memberikan kotribusi apapun untuk Islam. Islam konservatif, liberal, sekular, normatif, dlsb, sama kasusnya. Yang terpenting adalah: fastabiqul khayrat, bukan fastabiqul munkarat. Bagi kita yang mengaku Muslim, apa yang sudah kita berikan kepada umat ini? Kita menjadi problem solver, atau malah menjadi problem maker?
Dari sebelas poin doktrin yang kurang perlu dalam Islam versi Ulil tidak satupun yang menyajikan sikap tawadlu‘. Yang ada hanya menyalahkan pendapat orang dan sikap orang. Lihatlah saja, dia menyalahkan doktrin Islam dan doktrin Kristen.
Terakhir, saya ingin mengatakan bahwa sebelas “doktrin yang kurang penting” dalam Islam versi Ulil adalah “aneh”. Sekarang memang zaman “aneh”, zaman di mana orang berlomba-lomba untuk “mengencingi sumur Zam Zam”. Khalif tu‘raf, ‘Nyelenehlah, Pasti Engkau Akan Terkenal’.
(Medan, Selasa: 8 Januari 2008).
http://alqassam.wordpress.com/http://qosim-deedat.blogspot.com
From: Qosim Nursheha Dzulhadi <qosim_deedat@yahoo.com>
Subject: [INSISTS] “Kritik atas Ulil Absar ihwal Kemaksuman Nabi” (Untuk Ulil)
===
-muslim voice-
______________________________________
BECAUSE YOU HAVE THE RIGHT TO KNOW